MEMUTUS RANTAI KEMATIAN [REVIEW NOVEL NOWERGIAN WOODS HARUKI MURAKAMI]
Judul Novel: Nowergian Woods
Judul Asli: Noruwei no Mori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Cetakan Pertama: Juli 2005
Cetakan Keduabelas: Agustus 2019
Halaman 426
ISBN: 978-602-424-835-2
WARNING U15+ (JAPAN) SETARA U18+ (INA) & SPOILER MODE ON
Terjebak pada pilihan cinta masa lalu dan masa depan, Toru Watanabe akhirnya harus memilih seperti apa hidupnya akan berlanjut. Toru Watanabe adalah sosok pria yang pandai memikat wanita manapun yang kesepian. Ia bukan penggoda atau perayu, sosoknya yang introvert namun intim terhadap siapapun yang diajaknya berbicara. Itulah pemikat sesungguhnya. Pasalnya hidupnya amat sepi, hanya dihabiskan untuk berkuliah, membaca buku di kamar asrama, part time di toko kaset. Kadang kala perilaku liarnya dihabiskan bersama Nagawasa berburu perempuan manapun yang dapat dijadikan tempat melepas hasrat kejantanannya.
Watanabe mencintai mantan kekasih sahabatnya. Perempuan itu bernama Naoko. Naoko ditinggal kekasihnya dengan kematian tanpa pamit, tanpa aba-aba. Trauma dengan kematian ini rupanya bersemayam di jiwa Naoko. Naoko terguncang lama namun menyembunyikan kepedihan itu. Watanabe dan Naoko pun bertemu kembali setelah lama menghilang. Mereka jadi sering berkeliling Tokyo tanpa arah, tanpa tujuan, menghabiskan waktu bersama. Watanabe menjadi pendengar namun mereka tidak pernah menyinggung tentang Kizuki. Padahal Kizuki adalah sahabat mereka berdua semasa hidup. Watanabe mengagumi penuh sosok Naoko meski Naoko belum ada niatan untuk menempatkan Watanabe diposisi Kizuki (kekasihnya dulu).
Di masa penggantungan yang tak menentu, Watanabe melampiaskan apapun pada perempuan lain namun selalu merasa lubang dihatinya tidak pernah tertutup. Pada ulang tahun Naoko, hal yang tidak pernah terjadi didalam dirinya bahkan pada Kizuki sekalipun meski ia teramat ingin, kini terjadi. Ia bergairah bersama Watanabe. Di malam itu, Naoko dan Watanabe saling menyatu tanpa jarak, tanpa alas. Kemudian Naoko menghilang.
Watanabe nyaris hilang akal menduga-duga apa yang terjadi. Namun hidup terus berlanjut. Watanabe menjalani hidupnya yang membosankan. Hingga dia bertemu perempuan wild and free yang bertolak belakang perangainya dengan Naoko. Ia menjadi teman Watanabe yang menghabiskan waktu bersama, membicarakan hal tabu dan menonton bersama.
Naoko rupanya menyimpan kesedihan mendalam yang tidak habis-habis. Dirinya berobat di Sanatorium, Kyoto. Di tempat ini ia mencoba menata jiwanya dari guncangan trauma. Kedua kalinya ia berhadapan dengan kematian orang yang disayanginya. Pertama, kakaknya yang begitu cerdas mengakhiri hidupnya dengan menggantungkan jasadnya di kamar. Kedua, Kizuki, kekasihnya sengaja membiarkan dirinya menghirup asap di dalam mobil yang terkunci.
Naoko siap bertemu dengan Watanabe kembali dan membiasakan untuk berbicara dan melepas hasrat. Namun Naoko tidak merasakan gairah yang sama. Watanabe tetap mencintainya meski perubahan apapun terjadi pada Naoko. Bahkan ia berencana menyiapkan apartement untuk membawa Naoko ke luar dari Sanatorium itu.
Na’as, impian ini tidak sesuai harapan. Naoko memilih jalan lain. Watanabe berada dipersimpangan keputusan. Akankah ia mengikuti jejak yang sama dengan kedua orang yang disayanginya atau kembali melanjutkan hidup dengan masa depan yang baru?
Novel Nowergian Wood sukses membawamu berpetualang jiwa. Tidak hanya berkeliling Tokyo atau kota-kota di Jepang lainnya, tidak hanya membawamu pada nuansa masa silam rentang waktu 1968 hingga 1970an. Novel ini menyaratkan pesan jauh lebih mendalam dan related hingga kini. Lekat dengan depresi, keputusan bunuh diri atau bertahan hidup.
Perjuangan Watanabe Memilih Jalan Hidup
Kematian tidak ada yang tahu, namun nampaknya seseorang yang merencanakan kematian telah siap dengan ajal yang ditemuinya. Setidaknya ada 4 kematian yang disinggung dalam novel ini. Kematian yang direncanakan. Kematian yang misteri. Kematian yang dikehendaki sekaligus menyisakan kepedihan orang yang ditinggalkan. Kematian yang tidak membawa ketenangan. Kematian yang terjadi dari derita yang tidak terungkap. Kematian yang menjelma dari rasa keputusasaan.
Ya, kematian kakak Naoko, sosok perempuan cerdas dan mengagumkan yang memilih mengakhiri masa gemilangnya semasa di SMA dengan menggantung diri di bilik kamar. Duka pertama yang diwariskan kepada Naoko hingga menjadi derita berkepanjangan. Disusul oleh kematian Kizuki, kekasihnya yang sejak kecil selalu bersamanya. Tidak ada yang lebih pedih, semuanya terasa baik-baik saja namun berakhir bunuh diri juga. Kematian Hashimura, kekasih Nagasawa. Perempuan yang teramat mencintai Nagasawa meski Nagasawa tidak pernah berniat menikahinya. Akhirnya perempuan itu menikah dengan pria lain dan memutuskan untuk mengiris nadinya berujung maut.
Terakhir, kepergian Naoko yang membuat Watanabe memiliki lubang lagi dalam hidupnya. Sebenarnya Naoko bisa membaca situasi dirinya. Saat ia merasa kepergian dua orang yag disayanginya, traumanya merusak sistem tubuhnya. Ia kesulitan mengekspresikan apa yang dia rasakan. Bahkan ia kesulitan berkomunikasi. Ia mengambil langkah tepat dengan mencari pertolongan. Ia mengungsi di Sanatorium untuk mendapatkan ketenangan.
Sanatorium yang dimaksud tidak seperti rumah sakit, melainkan tempat yang pas untuk proses healing. Haruki Murakami menggambarkan sanatorium itu berada di balik gunung dan hutan. Adem dan nyaman. Kegiatan yang dilakukan pun sekadar bermain, berkebun dan bersenda gurau. Itulah tempat tinggal Naoko. Naoko berangsur pulih, ia akhirnya bertemu dengan Watanabe. Saat membaca ini aku mengira dirinya sudah membuka hati untuk Watanabe. Rupanya jiwa itu belum sepenuhnya pulih. Masih ada Kizuki di sana, masih ada kepedihan yang bersemayam dan akhirnya ia turut mengakhiri hidupnya.
Kenangan Watanabe, lagu nowergian wood menjadi saksi bisu penantian Watanabe sia-sia. Mendengar kabar kematian tersebut, ia hidup luntang lantung. Sebelum kepergian Naoko , ia sudah berjanji tidak akan mengambil langkah yang sama dengan Kizuki, meninggalkan Naoko sendirian dan mati di usia 17 tahun. Ia tidak akan menyerah pada hidup. Ia akan membawa Naoko merasakan hidup kembali. Na’as, Naoko memilih untuk pergi dengan cara yang sama seperti kakak dan kekasihnya. Hingga akhir hidupnya, Naoko tidak pernah mencintainya.
Watanabe berkelana kemanapun yang bisa ia datangi. Ia tidak begitu peduli, di mana ia akan berhenti, istirahat atau kemana melanjutkan perjalanan. Ia hanya memikirkan Naoko sepanjang masa berkelananya selama satu bulan lebih. Sementara ada wanita yang dicintainya pula menunggu Watanabe untuk mencintainya penuh. Ada Midori, sosok yang dipilihnya menjadi kekasih hati namun belum dimilikinya karena Naoko masih menjadi tanggung jawabnya. Di fase inilah, ia masih berusaha menjaga kewarasannya untuk kembali pulang. Kembali hidup dan kembali menjalani hal yang sudah semestinya.
Meskipun ending novel ini menggantung, namun pesan yang disampaikan begitu mendalam. Pasalnya, fenomena mental health dan bunuh diri ini menjadi momok masyarakat yang terus terjadi. Haruki Murakami menangkap fenomena ini dan menyajikannya dalam Nowergian Woods. Sebagai pembaca jangan kaget dan jenuh dulu membaca novel ini. Meski tidak seperti novel lainnya yang memiliki konflik yang wow, Haruki Murakami justru menggunakan alur yang begitu lambat, tidak terjadi banyak perubahan yang signifikan dalam alurnya.
Konfliknya terkesan tenang, namun jika diresapi sungguh-sungguh, terjadi konflik batin yang teramat mendalam. Kisah dalam novel ini mewakilkan hidup kita yang berjalan seolah begitu lambat. Tidak terjadi perubahan cepat dalam hidup kita. Kita dituntut untuk tetap bertahan hidup ditengah kerasnya kenyataan. Meski dihadang dengan kenyataan pahit, impian yang tidak terealisasi, cinta yang tidak terbalas, nafsu yang kian menggelora meski tanpa ada ikatan perasaan dan kehilangan oorang-orang tersayang.
Semua lika-liku hidup ini benar hadir dalam hidup siapapun menjadi rentan menyerang psikis (mental) manusia. PR yang sangat besar hari ini adalah isu mental health. Novel memberikan referensi pada pembaca. Di ambang keputusasaan itu harusnya ada dua pilihan, bertahan atau bunuh diri?
Novel ini mungkin tidak se-fresh cerita lain bahkan terkesan vulgar, suram dan sad ending. Namun bila ditelaah lebih dalam, ada pesan yang amat logis. Watanabe menunjukkan bahwa suicide itu bukan pilihan satu-satunya yang harus dijalani. Ia berbalik dari rantai suicide itu dan memilih melanjutkan apa yang masih menjadi miliknya yaitu hidup.