BENANG KUSUT YANG TAK KUNJUNG TERURAI
Enam tahun bukan waktu yang sebentar untuk memulai perjalanan, saling mengenal dan menetap. Sudah terlanjur banyak manusia yang ku temui dengan berbagai singgungan perasaan yang telah terpatri. Pun berbagai pengalaman serta ekspektasi yang sudah tertanam. Kiranya itu yang nampaknya menjadi materi overthinking menjelang kata perpisahan.
Manusia-manusia yang ditakdirkan bertemu, bersua, mencipta momen dan akhirnya harus berpisah itu meninggalkan banyak pertanyaan. Semua yang terjadi belakangan itu entah sekejap bahkan lama hingga mengendap akankah hanya menjadi bumbu kehidupan yang menyisakan kenangan dan pelajaran. Tidakkah ada pertemuan nantinya di masa mendatang entah dengan berbagai hajat.
Apakah benang yang sudah pernah bersinggungan hari ini akan bersinggungan kelak di masa yang lebih tidak terprediksi. Pertanyaan selanjutnya yang memenuhi imajiku adalah manusia dari belahan bumi mana lagi yang mesti ku temui. Dari 7 milyar manusia di muka bumi, haruskah kita menjumpai semuanya meski sekali atau kita harus bertemu dengan orang yang sama lagi dalam beberapa masa hingga waktu habis.
Ya, pertanyaan yang sebenarnya tidak esensial dipertanyakan. Di saat orang lain sibuk membangun kerajaannya masing-masing. Aku masih menanyakan, berapa manusia yang harus aku temui untuk bersinggungan dan mencipta momen lalu kembali untuk berpisah.
Semuanya berawal dari sadarku menghitung masa. Enam tahun aku berada di satu titik yang cukup intens, jauh dari rengkuhan keluarga serta kerabat dekat tanpa berpindah-pindah seperti sebelumnya. Enam tahun itu tidak membuatku kekurangan cinta kasih. Meski kadang pernah merasa sendiri dan terbesit ide bundir kala menyerah menyerang, namun agak berlebihan rasanya mengganggap diri se-useless itu.
Ada manusia-manusia yang nyatanya telah menggoreskan kuasnya di kanvasku. Mereka adalah manusia yang membuat hidupku seolah berwarna, meski tidak abadi tetapi masih manis diingatan. Aku rasa singgungan benang ini amat berarti sehingga perayaan perpisahan pun nampaknya menjadi ritual di ujung pertemuan yang kerap ku kabulkan.
Selama menulis ini sebenarnya benang yang bersinggungan denganku sudah terlalu banyak dan saling tarik menarik. Alhasil mengacaukan gesekan dan nampak kusut. Tidak ada pilihan lain. Ketimbang terus-terusan menjadi materi overthinking, maka sudah saatnya aku menulis. Setidaknya inilah cara yang terpikir agar bisa membantuku mengurai benang kusut ini.
Segala pertemuan yang terjadi baik yang ku sengaja dengan penuh kesadaran maupun pertemuan yang tidak dipinta sekalipun adalah takdir yang tidak terbantahkan.
Masing-masing manusia membawa tugasnya untuk menyampaikan hikmah kepadaku. Ada yang datang secara tersirat maupun tersurat berbagi kisah bahagia. Adapula yang mengajarkan kekecewaan. Sepedih apapun itu telah membantu air mata ini berfungsi sebagaimana mestinya.
Dari berbagai jenis manusia dan peristiwa, sedikit banyaknya aku telah belajar. Hanya saja terkadang aku luput memanifestasikan nilai-nilai di dalamnya. Akhirnya aku harus terus belajar menjadi manusia. Setidaknya aku perlu berkarya! Jutaan manusia yang ku saksikan amat bersinar berkat karyanya. Oleh karena itu, tidak selayaknya mati sebelum memiliki karya, apapun itu! Sudah menjadi tanggung jawab sebagai insan untuk melanjutkan dan mewariskan sejarah kemanusiaan yang beradab.
Berkali-kali aku gagal fokus tentang arti kebahagiaan. Bahagia yang aku kejar semata-mata kata orang. Aku menyamakan ekspektasi kebanyakan manusia dan menganggap kebahagiaan kolektif menjadi kebahagiaan ku pula. Itu tidak salah, tetapi nampaknya aku melompati langkah pertama. Mestinya aku menciptakan bahagia versi diri sendiri dulu baru lanjut ke langkah berikutnya.
Perjalanan memang membuat aku mengerti banyak hal dan membantuku menemukan diriku sendiri. Hanya saja semakin aku mengenal diriku sendiri, aku merasa perjalanan yang telah aku lakukan tidak pernah menjadi apa-apa. Ada gelas yang terus kosong dan minta diisi terus menerus. Bertahun-tahun ke sana-kemari tidak membuatku cukup. Semakin meresahkan!
Ditambah keterbatasan selalu menjadi alasan untuk tidak menjadi apa-apa. Sebenarnya itu tidak pernah menjadi batas selain pikiran sendiri. Belum mampu juga meyakinkan siapapun bahwa batas itu ilusi.
Keinginan terbesarku adalah still learning until i die. Keinginanku menemukan aktivitas yang tidak menghentikan proses belajarku. Ekspekstasiku selalu bertemu orang yang membuatku terus belajar dan mendukungku tanpa excuse. Apapun proses kongkretnya sudah menjadi hukum fleksibilitas, tidak mengapa asal konstan tujuannya.
Perihal cinta, nampaknya enam tahun atau jauh sebelum itu hanya menjadi kisah fatamorgana. Aku gagal mendefinisikan kebersamaan didalam imajiku. Perjalanan hanya membuatku berpikir semua orang bertemu untuk berpisah. Belum ada kamus untuk menetap.
Benang kusutku kadang-kadang membuatku rumit dan sesekali berpikir untuk mengambil jalan pintas dengan memotongnya. Aku ingin menggunakan apa saja yang bisa memutus itu. Tetapi lagi-lagi aku paham, hidup tidak sekedar bernafas dari hari ke hari melainkan ada pertanggungan setelahnya. Terkadang aku terlalu fokus pada benang yang kusut sampai lupa mengurainya. Aku lupa pada perintah-Nya dan terus saja bergelut dengan benang kusut itu.
Terlalu banyak kekusutan yang terjadi. Namun setidaknya ini yang bisa dipetakan. Aku titip tulisan ini. Suatu saat aku akan mengerti apa yang tengah bergejolak hari ini. Sebuah monolog batin yang yang tidak bisa aku simpan terus menerus dalam otak. Meski benang kusut ini tak kunjung terurai, tak mengapa. Aku amat sadar, tidak semua hal yang terjadi hari ini mendapatkan jawabannya sekarang.